Antara Aku, Kamu dan Mereka

Rabu, 24 November 2010

Setiap perbuatan yang kita lakukan memiliki resiko, dan seorang pejuang sejati tidak pernah ciut seberapapun besar resiko yang mesti ia hadapi, tapi sebaliknya orang-orang yang bermental pecundang akan segera tersingkirkan dari medan juang yang sesungguhnya.

Para Nabi dan Rasul tidak mewarisi harta benda tapi mereka mewarisi ilmu dan para ulama adalah pewaris para nabi. Dan Allah mengatakan di dalam Al Qur'an bahwa Ia akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu dibandingkan orang yang tidak berilmu.

Jika kita mau mengintip usaha yang dilakukan para ulama kita zaman dahulu, maka kita akan merasakan usaha yang telah kita lakukan, belajar mati-matian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kesungguhan para Ulama zaman dulu. setidaknya kita mesti membandingkan kesungguhan kita dengan para Ulama sehingga hal itu lebih membuat kita termotivasi dalam menuntut ilmu.

Pertama: masalah waktu, Ulama kita dulu mereka tidak mempunyai batasan formal dalam menuntut ilmu, mereka semenjak kecil sudah belajar dengan sungguh-sungguh maka tak heran Imam As-Syafi'i sudah hafal Al Qur'an semenjak umur 7 tahun dan sudah menjadi seorang mufti yang memberikan fatwa umur 15 tahun. Bahkan mereka menuntut ilmu sampai mereka meninggal dunia. 

Kalau kita lihat zaman sekarang kebanyakan orang hanya mengikuti jenjang pendidikan sampai S1 setelah itu hari-hari mereka dihabiskan untuk mencari harta dunia, hanya sedikit yang mau melanjutkan sampai S2 dan S3. Dalam sebuah survey tahun 2003 disebutkan bahwa di Indonesia hanya ada 74 orang Doktor.

Kedua: Sarana dan fasilitas, Ulama dulu sangat sulit untuk mendapatkan selembar kertas saja untuk menulis, begitu juga dengan alat tulis yang mereka pakai sangat terbatas sekali. tapi dibalik kepayahan dan kesusahan tersebut tidak membuat luntur semangat mereka dalam mencari ilmu.
Bandingkan dengan zaman sekarang semua yang serba lengkap dan canggih, ada Komputer, kertas melimpah ruah, pena bagus yang tidak perlu dicelupin dulu kalau mau menulis, buku-buku maraji' sangat banyak dengan percetakan yang sangat bagus. Tidak ada alasan lagi untuk malas dalam belajar karena sarana dan fasilitas yang begitu lengkap.

Ketiga: Jarak, Zaman dahulu alat transportasi tidak secanggih zaman modern saat ini, zaman dahulu hanya ada onta tapi sekarang sudah ada Toyota hehehe...Meski jarak sumber ilmu begitu jauh tapi hal ini tidak menyurutkan langah mereka dalam menyusuri sumber ilmu tersebut. Uqbah seorang tabi'in rela menempuh jarak yang sangat jauh dengan onta dari Madinah ke Mesir hanya untuk mendapatkan satu buah hadits setelah itu langsung pulang ke Madinah.

Itulah bedanya ulama dengan kita, kita hanya untuk pergi kuliah saja yang jaraknya hanya sekitar satu jam perjalanan sudah menganggap jauh sekali. padahal bus-bus selalu siap membawa para penuntut ilmu ke Universitas Al Azhar yang kita cintai. kenapa hal ini bisa terjadi? karena kita selalu membandingkan dengan hal-hal yang kecil.coba bandingkan dengan Ulama zaman dahulu yang hanya dengan onta bahkan ada yang berjalan kaki serta menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam menempuh perjalanan ke tempat yang dituju.

Keempat: Kekuatan fisik, Ulama zaman dahulu fisik mereka sangat kuat, mereka mampu tidur hanya beberapa jam selebihnya mereka habiskan di depan buku-buku. bagaimana dengan kita? baru setengah jam belajar sudah menguap dan akhirnya kembali mengukur kasur. tapi...kalau udah fesbukan semalam suntuk bisa kuat thu?!#%$%^

Kelima: Harta, Kecintaan para Ulama dulu terhadap ilmu begitu kokoh tertancap di dalam dada mereka sehingga rela mengorbankan apa saja demi ilmu, itulah yang dilakukan oleh Ibnu Haitsam, ia rela menjual rumahnya demi membeli buku. Tapi sekarang sepertinya terbalik, kita malah rela menjual buku demi membeli alat-alat elektronik yang hanya bisa dimanfaatkan dalam jangka beberapa waktu saja.

Keenam: Tempat: Penjara adalah sekolah yang membesarkan para pahlawan, di dalam ruang yang begitu sempit, dingin, sumpek dan lain sebagainya mereka sanggup melahirkan karya besar sepanjang sejarah. Sayyid Qutub melahirkan karyanya di dalam penjara Tafsir fi Zilalil Qur'an, Ibnu Taimiyah dengan buku Majmu'ah fatawa ibnu Taimiyah. Buya Hamka melahirkan Tafsil Al Azhar dll.

Sedangkan kita berada dalam ruangan yang begitu nyaman, luas, ber AC dan fasilitas lainnya. tapi karya apa yang sudah kita telorkan? hal ini harus kita pertanyakan terhadap diri kita masing-masing, supaya lebih membuat kita bersemangat dalam belajar.

Ketujuh: Semangat juang yang tak pernah pudar, apa rahasianya sehingga para Ulama dulu tidak pernah mengeluh dengan segala rintangan yang mereka hadapi, rahasianya ternyata hubungan mereka yang kuat dengan Sang Pencipta, mereka selalu mengisi hari-hari mereka dengan bertaqarrub kepada Allah dan menguatkan ruhiyah mereka.

Itulah kunci semangat yang tak kenal henti, semangat dalam mencari ilmu dengan niat ikhlas semata-matanya hanya karena Allah swt. itulah bedanya kita dengan mereka, terkadang tanpa kita sadari terselip niat yang salah dalam menuntut ilmu sehingga belajar yang kita lakukan tidak bernilai ibadah dan sia-sia belaka.

Sahabat...sudah saatnya kita bangkit dari tidur panjang yang melenakan, tidak ada alasan untuk malas-malasan dalam menuntut ilmu, segera singsingkan lengan baju, mari kita songsong masa depan yang cerah dengan menggali khazanah ilmu pengetahuan agama. sudah bukan zamannya lagi kita tidak tahu dengan ajaran yang mulia ini, Dinul Islam yang menjadi Rahmat kasih sayang bagi seluruh alam. Wallahu'alam bis showab.

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2010-2011 Generasi Rabbani All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.